via Mongabay, 25 July 2023: Research conducted in Papua reveals that language and archaeological remains spread between Austronesian and Australo-Papuan cultures without direct contact, influenced by interactions during the late Pleistocene when the sea level was lower and land bridges connected Australia, Tasmania, New Guinea, and the Aru Islands. Article is in Bahasa Indonesia.
Seperti diketahui, dari sudut pandang flora dan fauna, banyak yang mengetahui bahwa Papua juga memiliki kemiripan dengan benua Australia dan bisa diamati sampai dengan saat ini.
Menurut Hari, leluhur orang Papua dan juga Australia memiliki interaksi pada masa Pleistosen akhir, saat laut berada pada tingkat terendah. Mereka melintasi samudera menuju New Guinea dan Australia menggunakan sampan atau rakit.
“Mereka melakukan penjelajahan ke berbagai pulau lain seperti Maluku, hingga mencapai Pulau Manus di Kepulauan Bismarck dan mencapai Pulau Buka di Solomon Utara.”
Dijelaskannya lagi, fluktuasi permukaan laut secara potensial mempunyai arti penting bagi prasejarah, karena permukaan yang rendah membuat pulau-pulau lebih besar dan cenderung menghasilkan jembatan darat.
Penyeberangan laut yang lebih pendek menjadi penting, khususnya untuk proses penghunian pertama di New Guinea dan ini mungkin berhubungan dengan salah satu permukaan rendah pada 35.000 tahun lalu atau sebelumnya.
“Pada suatu masa, terdapat satu benua yang disebut Terra Australia meliputi Australia, Tasmania, New Guinea, dan Kepulauan Aru. Bagian ini disebut berada pada kerak bumi atau Lempengan Sahul. Binatang-binatang yang hidup di keempat lokasi bio-geografi ini memiliki persamaaan,” ungkapnya.